Untuk yang aku kira
sahabatku,
Sore ini aku memutuskan
untuk kembali ke Jakarta kita. Di mana kita senantiasa hidup menggulung hari
mengukir sejarah untuk anak cucu dan peradaban. Bukan aku tak betah di Jogja
yang gemah ripah ini, bukan. Terlebih karena aku tersadar bahwa aku memang
harus kembali, apapun yang nantinya akan terjadi. Selama 29 jam aku berada di
sini, banyak yang aku ilhami. Terutama pada apa yang terjadi selama ini, yang
selalu aku resahi. Ya, tentang kita.
Untuk yang aku kira
sahabatku,
Pernahkah kau berfikir
mengapa kita diciptakan berbeda? Mengapa kita dipertemukan lalu dipisahkan?
Mengapa kita masih dikukuhkan untuk saling menjaga meski kita sering
berbenturan dalam banyak hal? Tentu dari kesemuanya itu aka nada hikmah besar
yang dinubuwatkan Allah untuk kita. Dan dimulai dari kota inilah aku mencoba
untuk mengikhlaskan semua yang tidak sesuai dengan apa yang aku kehendaki. Ah,
aku yang koleris saja sampai jadi sebegini melankolinya. Akan kuceritakan apa
yang aku ilhami dari segenap perjalanan kita…
Untuk yang aku kira
sahabatku,
Mungkin kita dulu
sama-sama lupa mengingatkan bahwa bukan kita yang sepenuhnya mengendalikan hati
kita. Hingga, aku sadar bahwa tidaklah sebuah hubungan baik untuk dilanjutkan
kecuali untuk perbaikan iman. Ah, aku yang dulu terlalu ceroboh. Sebagai pendatang
di kota besar seperti ini aku terlalu gembira dijumpai sosok istimewa
sepertimu. Kegembiraanku terlalu berlebih. Tibalah saatnya Allah menegurku. Dan
fatalnya aku tidak siap—mungkin.
Untuk yang aku kira
sahabatku,
Sekarang aku perlahan
ikhlas dan mencoba untuk bangkit, meski tanpamu. Aku sadar frekuensi kita
sekarang sudah jauh berbeda. Rotasi kita sekarang sudah berlawanan arah. Namun
aku masih optimis bahwa ruh-ruh iman kita saling berpelukan dalam doa. Udara
yang kita hembus masih dari Allah yang satu, Azza wa jalla. Jika aku sekarang
masih punya kesempatan untuk kembali bersahabat denganmu, ada yang ingin aku
tegaskan. Jika selama bersamaku kadar keimananmu tidak bertambah menjadi lebih
baik, aka aku bukanlah sahabat yang baik untukmu. Sahabat memang tidak bisa
dijadikan satu-satunya indicator iman seseorang. Tapi sahabat yang baik adalah
yang senantiasa mengingatkan dalam keimanan.
Untuk yang aku kira
sahabatku,
Aku saat ini rindu
sekali padamu. Tapi biarlah aku saja yang merasakan rindu ini. Ini berat, kamu
tidak akan kuat. Ah, terakhir ingin aku sampaikan nasihat dari ki Joko Bodo,
“Kangen yang paling
dahsyat adalah ketika kamu tidak saling berkirim pesan, BBM, mention, tapi
diam-diam saling merapal nama dalam doa”. Memang, kita mungkin terlalu sering
lupa bahwa doa adalah senjata bagi orang beriman.
Untuk yang aku kira
sahabatku,
Kita memang bukan
ditakdirkan untuk bersahabat di dunia, namun ini adalah ukhuwah yang lebih
dahsyat kadar cintanya. Semoga ruh-ruh kita senantiasa berpelukan dalam iman
dan kita kembali dipertemukan dalam surga. Ya, aku kira engkau adalah
sahabatku… tapi kau lebih dari itu. Terima kasih.
Ditulis Oleh : Takerubun
