Padahal Rasulullah SAW pun tidak
dapat mengajak pamannya sendiri ke dalam nikmat ber-Islam. Padahal Nabi Luth AS dan Nabi Nuh AS
pun tidak dapat
menggandeng istri mereka dalam
indahnya cahaya hidayah. Padahal Asiyah yang telah dijanjikan Allah akan dibangunkan rumah di surga
pun, tidak dapat mengajak
Fir'aun, suaminya sendiri, untuk
menempati rumah yang sama. Lalu, apakah kita berhak memaksa Allah untuk menebarkan hidayah itu di hati
keluarga kita?
"Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk."(QS Al-Qoshosh: 56)
***
Bagaimana perasaan kita ketika
membaca berita di koran tentang seorang pecandu yang terkena AIDS atau seorang wanita yang hamil di luar
nikah atau seseorang
yang mati bunuh diri atau mereka yang
mendekam di penjara karena predikatnya sebagai maling? Apakah kita akan merasa sedih atau
simpati kepada mereka?
Ataukah justru kita berpikir,
"Ih, salah dia sendiri dong. Rasain tuh akibatnya!". Mungkin juga kita hanya
menyenandungkan istighfar sambil menyesalkan semakin
jauhnya ummat ini dari hal-hal yang
telah disyari'atkan-Nya.
Memang, itu adalah kesalahan mereka
sendiri. Mereka sendiri yang telah memilih untuk menggunakan obat-obat laknat itu, memilih untuk
berzina, memilih untuk
mengakhiri hidupnya sendiri, memilih
untuk mengambil apa yang bukan haknya. Itu memang benar, mereka sendiri yang memilih menjalani
kehidupan seperti itu. Dan
untuk pilihan itu, mereka juga yang
harus menanggung konsekuensinya, sebagai azas kausalitas yang tidak bisa dibantah.
Tapi ternyata, ketika kejadian yang
sama menimpa keluarga kita, sikap yang sama tidak dapat kita hadirkan. Tiba-tiba semua orang terdiam,
semua mata basah oleh
airmata. Jangankan berpikiran
"salah sendiri", rasanya dunia seakan kiamat. Terngiang di telinga firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS At-Tahriim: 6)
Masalah sudah menjadi demikian
kompleks untuk menelusuri siapa yang salah dan siapa yang benar. Semua mengambil peranan di dalamnya.
Orang tua, kakak, adik,
sepupu, om, tante... semua ikut
bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Minimal, mereka ikut berperan dengan sikap
ketidakpedulian mereka.
Sedih, sangat. Apalagi jika hal itu
terjadi pada anggota keluarga seorang aktifis dakwah. Ketika sang da'i sibuk berkoar-koar di luar,
mengisi pengajian, tabligh, atau
menjadi orator, ternyata apa yang
diserukannya untuk ditinggalkan, justru dikerjakan oleh orang-orang terdekatnya sendiri. Istilah
'shalih tapi tidak
menshalihkan' mungkin adalah gelar
yang cocok untuk sang da'. Ungkapan seperti "Ah, anaknya si Ustadz itu saja masih merokok dan
minum-minuman keras," atau
"Tuh, adiknya si Pak Haji anu
kemarin diajukan ke pengadilan karena ketahuan korupsi," mewarnai penilaian masyarakat tentang
dakwah yang timpang sebelah ini.
Tidak jarang
pula, penilaian inilah yang membuat masyarakat menjadi phobi terhadap dakwah mereka selanjutnya.
|
Menyandang label sebagai seorang
penyeru kebaikan memang tidak mudah. Dakwah kita diterima masyarakat lebih sering bukan hanya karena
apa yang kita katakan,
tapi dari apa yang kita kerjakan.
Begitupun dengan keluarga. Parameter bagi kesuksesan dakwah seorang da'i salah satunya adalah dari
kondisi keluarganya.
Merupakan hal yang wajar jika
masyarakat ingin menilai seberapa jauh keberhasilan seorang 'marketer' Islam dalam membidik lingkar terdekat
pergaulannya sehari-hari.
Walaupun dalam kacamata marketing
juga dikenal adanya suatu skala prioritas, untuk mengarahkan sebagian besar potensi kepada segmen
market yang
peluangnya lebih besar untuk menerima
apa yang kita jual, dan tidak selalu keluarga kita memenuhi kriteria tersebut.
Lantas, haruskah kita berhenti
berdakwah ketika kondisi keluarga kita belum 'islami'? Salahkah seorang da'i yang berusaha merangkul
orang lain sementara
keluarganya masih berada dalam lingkup
jahiliyah? Salahkah? Ya, mungkin memang salah, jika beliau sama sekali tidak berusaha
mengingatkan mereka tentang adanya
pahala dan dosa, tentang adanya surga
dan neraka, tentang azab dan nikmat. Memang salah, jika beliau hanya bermaksud menjadi shalih
sendirian. Bukankah
Allah telah berfirman, "Maka
berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan." (QS
Al-Ghaasyiyah: 21)
Tugas kita sebenarnya hanyalah sampai
pada tahap mengingatkan. Lalu sisanya adalah wilayah kekuasaan Allah untuk menentukan apakah
orang yang kita beri
peringatan tersebut akan dipilih-Nya
sebagai penerima hidayah atau tidak, walaupun notabene adalah keluarga kita sendiri. Kita hanya bisa berikhtiar
sambil terus
mendo'akan mereka.
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan
mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah- lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang
dikehendaki-Nya..." (QS Al-
Baqarah: 272)
Wallahu a'lam bis-showab
Ditulis Oleh : Takerubun
Anda sedang membaca artikel tentang Cahaya Tak Teraih. Oleh MTakerubun, Blogger asal Evav Maluku Tenggara. Semoga artikel ini bermanfaat. Anda diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya