Saya masih ingat
ketika anak saya, Ammar, yang waktu itu berusia 3 th, bertanya kepada umminya di saat menjelang
tidurnya. "Ummi, cicak itu terbuat dari apa ya,
yang membuat
siapa?" tanyanya sambil memandangi cicak yang sedang asyik menunggu mangsanya di dinding kamar,
rumah (kalau boleh dibilang rumah)
kontrakan kami
di sebuah lorong di kawasan Jl. Angkatan 45 Palembang. Saya lupa bagaimana isteri saya waktu itu
menjelaskannya, namun yang masih menjadi
renungan saya,
di dalam benak makhluk yang masih fitrah itu, adakah dzon-dzon terhadap hakekat dari apa dan kenapa
ia ada dan diciptakan? Sebuah pertanyaan
yang mungkin
tidak relevan kalo ditujukan untuk anak seusia 3 tahun tentunya.
Saya juga masih
ingat ketika (kalo boleh saya bernostalgia) saya memberikan dua lembar "surat cinta"
pertama saya ke istri ketika akad nikah baru saja kami lewati (5
tahun yang
lalu), yang masih tersimpan rapi dalam dokumen kami. Ada kata-kata yang kalo saya ingat kembali,
ternyata sampai saat ini saya masih harus belajar
untuk
memaknainya. Kata-kata itu kurang lebih begini, "...Isteriku, semoga Allah menyatukan cinta kita dan menjadikan
pernikahan ini sebagai jalan untuk meraih
ridho dan
cinta-Nya. Cinta yang tidak akan pernah memberikan penyesalan sebelum maupun sesudahnya" Terlalu
romantis memang.
Saudaraku,...
Dari dua
penggalan memori saya itu, saya ingin mencoba mengajak (diri saya sendiri dan) kita untuk kembali memaknai
keberadaan diri kita ini. Allah telah menciptakan
kita dalam
keadaan 'fi ahsani taqwim' sebaik-baik bentuk, baik hardware (jasad kita) maupun software (ruh dan akal kita).
Kita dibekali akal untuk memikirkan dan
merenungkan
segala hal, sekaligus diberikan hati sebagai sarana mengungkapkan cita dan rasa kita, di luar bentuk
fisik kita yang memang merupakan 'konfigurasi'
yang sempurna
ini.
Kenapa saya
mengawali dengan memori tentang pertanyaan anak saya itu? Tidak lain adalah untuk mengingatkan
hakekat diri kita yang dari tanah ini (tapi kita bukan
cicak lho),
sesuatu yang sehari-hari kita injak. Ketika saya merasa 'lebih' dibanding orang lain ataupun sekedar menganggap orang lain 'tidak
lebih benar' dari saya,
maka saya akan
bersegera untuk memandang tanah di bawah saya. Kenapa? Karena saya berasal dari tanah, orang lain
juga dari tanah, terus kenapa saya harus merasa
'lebih'?
Saudaraku,... yang akan Allah lihat adalah kualitas hati kita, sejauh mana kita hiasi dengan ketaqwaan.
Ingatlah, Allah mengilhami jiwa kita dengan
kecenderungan
kepada perbuatan fujur (dosa) dan juga kecenderungan kepada perbuatan taqwa (baik). Dalam ayat
ini kecenderungan untuk fujur didahulukan
dibanding
kecenderungan untuk taqwa, ini mengandung arti betapa untuk berbuat fujur (dosa) itu bagi jiwa kita akan
lebih mudah jika dibandingkan ketika kita akan
baik (ketaqwaan).
Karenanya Rasulullah mengajarkan doa untuk kita "Allahumma yaa muqolibal qulub, tsabit qolbi
'ala diinika wa 'ala tho'atika"
Kemudian
berkenaan dengan memori kedua saya, saya hanya ingin mengingatkan bahwa memang hati kita cuma satu,
tidak mungkin kita isi dengan lebih dari satu
cinta. Ketika
kadang harus pulang malam karena kegiatan saya (saya kadang bawa kunci sendiri), tidak jarang saya
menjumpai isteri dan anak-anak tidur berpencaran.
Kadang Istri
dengan si kecil Zahra (2 tahun) di kamar, Ammar tertidur sendirian di lantai depan kamar beralas tikar. Di
saat 'membenahi' tidur mereka itulah
kesempatan bagi
saya memaknai cinta ini. Sambil memandangi wajah-wajah kecil
|
polos itu (dan
umminya yang tercantik di dunia itu, jieee :-)) saya mencoba mengingat, apakah sesuatu yang telah
saya tulis 5 tahun lalu masih mampu saya
maknai.
Betapa kadang
karena kecintaan saya kepada anak-anak dan isteri, membuat saya lebih mementingkan mengantar mereka
membeli susu dulu sepulang kerja sehingga
membuat sholat
Maghrib saya tertunda menjelang Isya' (Astaghfirullah), atau ketika malam anak-anak menangis minta
dibuatkan susu atau hanya sekedar minta diantar
pipis ke
belakang, saya segera bangun memenuhi keinginan mereka, tapi ketika beberapa saat kemudian adzan Subuh
memanggil, berat sekali diri ini untuk segera
memenuhinya.
Dimanakah cinta yang katanya 5 tahun yang lalu akan saya tuju?
Sederhana memang
cara berpikir saya ini, namun sekali lagi disinilah saya kembali mencoba meraih kembali 'semangat' yang
telah saya canangkan dulu, bahwa apa
yang telah dan akan
saya lakukan adalah semata-mata untuk menuju kepada Ridho dan Cinta Allah. So, DI HATIKU HANYA
ADA ENGKAU, Ya Allah. Sekarang pun masih
ada Engkau. Aku
berjanji kepada-Mu, dan memang aku pun telah terikat 'perjanjian' dengan engkau ketika Engkau bertanya
'Bukankah aku ini Rabbmu?' Ya. Engkaulah
Rabbku,
Kekasihku.
Semoga perasaan
ini masih tetap akan terjaga sampai aku menghadap-Mu kelak. Ya Allah, bantulah diri ini menjadikan
cinta kepada anak dan isteriku sebagai wahana
meraih cinta-MU.
Bantu aku ya Allah...
Semoga bermanfaat
bagi yang pembaca semua. Mari kita suburkan wacana saling menasehati, bukan wacana saling
menjegal atau mencela yang tidak banyak
Ditulis Oleh : Takerubun
Anda sedang membaca artikel tentang Di hatiku hanya ada Engkau. Oleh MTakerubun, Blogger asal Evav Maluku Tenggara. Semoga artikel ini bermanfaat. Anda diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya