Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti
Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang kesulitan
mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus
mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol
Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan
jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat
untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi
setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita
ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga
masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan
Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya
Penangsang.
Ditulis Oleh : Takerubun
Anda sedang membaca artikel tentang Kisah Sunan kudus. Oleh MTakerubun, Blogger asal Evav Maluku Tenggara. Semoga artikel ini bermanfaat. Anda diperbolehkan mengcopy paste atau menyebar-luaskan artikel ini tapi jangan lupa untuk meletakkan link dibawah ini sebagai sumbernya